Iklan

Home » » Pemilukada DKI Terkuak,Dana Hibah Rp 3 Triliun Dipertanyakan

Pemilukada DKI Terkuak,Dana Hibah Rp 3 Triliun Dipertanyakan

Written By Unknown on Jumat, 08 Juni 2012 | 07.43


Jakarta,Berita TIPIKOR Gejala korupsi jelang pelaksanaan Pemilukada DKI Jakarta mulai terkuak. Hal tersebut berdasar temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Setidaknya terdapat empat gejala, di antaranya, potensi penyalahgunaan anggaran publik untuk kepentingan kampanye, dugaan upaya mark down Pendapatan Asli Daerah untuk modal pemenangan, dana kampanye terselubung dalam APBD DKI. Sumber dana kampanye para calon yang tidak transparan dan rawan, ditopang oleh pengusaha hitam (cukong).
“APBD DKI tiga tahun terakhir mengalami lonjakan cukup signifikan, seperti alokasi Dana Hibah yang melonjak tajam dari tahun 2010-2012. Disinyalir Rp 1,3 triliun merupakan dana taktis untuk pemenangan incumbent dalam Pemilukada ini,” kata Nurcholish, Ketua LBH dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Selasa (22/5).
Nurcholis mengatakan, dalam APBD DKI juga ditemukan aktivitas alokasi dana melalui kampanye terselubung yang dialokasikan cukup besar. Dalam data yang dilansir LBH dan ICW, terdapat sebanyak 38 kegiatan calon incumbent sebagai gubernur DKI seperti acara silaturahmi, cetakan buku gubernur, penyusunan naskah sambutan, turnamen olahraga, dan acara tatap muka lainnya. “Ada sekitar Rp9,7 miliar yang kami identifikasi sangat menguntungkan incumbent karena bisa lebih leluasa dan bisa jadi akses setiap titik komunitas melakukan sosialisasi mempopulerkan diri,” ujarnya.
Anggota Divisi Korupsi Politik ICW Apung Widadi mengatakan, di Jakarta penerimaan PAD justru mengalami tren menurun menjelang pilkada. “Kami ada laporan dari masyarakat, terkait lelang titik reklame yang seharusnya tiap tahun pendapatannya meningkat. Karena Jakarta kan hutan reklame, yang melahirkan banyak papan reklame baru. Tapi di anggaran ternyata menurun hingga Rp 9 miliar,” terangnya.
Modus di beberapa daerah terkait pemenangan pemilukada, kata Apung, biasanya ada aktor di Dinas Pendapatan Daerah, sehingga uang hasil lelang tidak dimasukkan ke kas negara. “Izin-izin usaha seperti ini saya pikir jadi lahan bisnis politik,” katanya.
Apung pun mengatakan aktivitas korupsi politik jelang pemilukada hampir terjadi di seluruh Indonesia, termasuk DKI Jakarta, yang merupakan representasi Pemilu 2014. “Masing-masing calon kami belum melihat adanya transparasi anggaran dibuka ke publik. Padahal, penyumbang Pilkada DKI banyak sekali sampai puluhan miliar dari pengusaha-pengusaha dan harus dilihat kepentingannya apa,” ungkapnya.
Apung menegaskan, dana sumbangan ini harus transparan disampaikan ke publik siapa pengusahanya, ada NPWP, usahanya apa, dan harus disampaikan ke KPU DKI. Namun sayangnya hingga kini KPU DKI belum menyampaikan itu ke publik. “Kami ingin dorong adanya proses setara, satu calon dengan satu lainnya itu fair. Ketika bertarung pilkada harus jelas uangnya dari mana. Kalau kami melihat dari profil beberapa calon sebagian besar pejabat publik, kalau direalisasikan penghasilan tidak sampai ratusan miliar, tapi dana kampanye disinyalir capai ratusan miliar. Ini dari mana asalnya harus diketahui,” tuturnya.
Untuk itu, LBH dan ICW menuntut KPU DKI agar bekerja secara independen dan tegas dalam pelaksanaan proses Pemilukada DKI 2012. Panwaslu juga dituntut berani, tegas dan proaktif, dalam menangani pelanggaran-pelanggaran khususnya korupsi politik pada pemilukada. Serta merekomendasikan adanya kerjasama multipihak seperti KPU, Panwaslu, Komisi Informasi Pusat, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan PPATK, untuk menyukseskan Pemilukada DKI.
Share this article :

Posting Komentar

Iklan Berita Tipikor