Iklan

Home » » Korupsi kekuasan ternyata juga dari bawah

Korupsi kekuasan ternyata juga dari bawah

Written By Unknown on Rabu, 07 Maret 2012 | 05.52

Sebuah catatan tentang pelayanan publik
    Terdorong oleh keyakainan bahwa birokrasi kini sedang tumbuh sebagai suatu institusi yang melayani dan tidak koruptif, seperti dengan penuh semangat dikampanyekan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, saya pun sangat bersemangat untuk mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP). Maklumlah, karena setelah sekian lama berada dan bekerja di Surabaya saya pun ingin memiliki KTP Surabaya.
    Alasan saya tentu beragam. Yang paling sederhana dan ini cenderung bernuansa politis; saya pun ingin berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum atau pemilu kepala daerah (Pemilukada), memberikan suara sebagai bukti kesadaran partisipatif sebagai warga negara. Karena kita semua tahu partisipasi masyarakat kita dalam Pemilu sangat menurun. Pada sejumlah tempat, pemilih tidak mencapai 50 persen. Dengan kesadaran ini, saya pun ingin terlibat aktif dalam pemilihan umum dan sekaligus pembentukan infrastruktur politik di kota tempat saya tinggal, Surabaya.
    Sebagai dampak dari alasan  pertama, saya ini keberadaan saya sebagai warga Negara diakui dan memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga Negara. Saya perlu membayar pajak, dan lain-lain. Celakanya saya memang membayar pajak lewat berbagai transaksi ekonomis yang saya lakukan dalam hidup saya sebagai warganegara. Secara sederhana, ketika membeli rokok misalnya, urai seorang ekonomi kenalan saya, saya sebetulnya telah membayar pajak kepada pemerintah nyaris mencapai 30 persen dari harga produk yang saya beli.
    Tetapi persoalan saya jauh lebih berat dari sasaran politik yang mau saya raih. Pemilikan KTP memungkinkan saya tentu saja untuk membeli secara kredit; membeli rumah, kendaraan dan barang lain secara kredit yang semuanya mewajibkan adanya KTP, di samping tentu saja data tentang penghasilan. Saya tidak bisa membayangkan jika orang tidak memiliki KTP. Mereka nyaris tidak biasa memiliki apa-apa di kota yang sedang memodernisasi dan menjadi metropolitan ini.
    Di beberapa kawasan Surabaya, kita tahu, banyak warga yang berdiam di tanah negara, pinggiran sungai dan pendatang tidak bisa memiliki KTP. Hidup mereka memang menjadi cermin dari bukan saja ketidakmampuan mereka membangun diri tetapi juga cermin dari ketidakmampuan atau bahkan birokrasi yang koruptif. Bayangkan banyak anak-anak di kawasan itu tidak memiliki akte kenal lahir. Akibatnya pun jelas; anak-anak itu tidak bisa memasuki lembaga pendidikan yang memang menjadikan akte kelahiran dan KTP sebagai bukti pertanggungjawaban dan profesionalisme birokrasi mereka.
    Dengan semangat seperti itulah saya pun bergegas ke kantor kelurahan untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk pengurusan KTP. Tepat pukul 8 saya sudah berada di sana. Saya bayangkan, kala itu sudah ada pegawai kelurahan yang sudah membukakan pintu dan memeberikan kesempatan kepada saya untuk antri. Ternyata  Tidak ada orang berada di kelurahan. Seorang petugas yang mengaku sebagai tukang sapu masih menyapu lantai, menata beberapa pot bunga yang nyjuk. Seorang pemuda menerima saya. Entah karena apa, saya merasa agak kurang nyaman dengan sang pemuda, yang rasanya baru beberapa tahun tamat dari sekolah menengah atas, yang kala itu nampak sedang termangu sambil memecahkan jerawat di pipinya. Pelayanannya cukup bagus, menyenangkan. “Saya harus mengetikkan beberapa data yang bapak butuhkan. Besok bapak bisa dating ambil.”
     Pengalaman saya sebagai orang swasta mengatakan bahwa untuk sebuah surat sederhana ini tidak dibutuhkan waktu tidak lebih dari sepuluh menit, termasuk proses pencetakannya. Staf saya bisa menyelesaikan semuanya itu dalam waktu yang sangat singkat. Hasilnya pun rapi jail. Tanpa perlu ada pengawasan.
     Dan keesokan harinya saya baru datang lagi. Surat yang saya butuhkan dan dokumen-dokumen lainnya sudah selesai dikerjakan. Tetapi saya harus menghadapi lurah untuk meminta tanda tangan. Waktunya memang tidak lama. Tetapi, persoalannya, saya harus hilir mudik berkali-kali mencari lurah, Karena selalu saja ada tamu yang menemuinya dengan segala urusan mereka.  Setelah mendapatkan tanda tangan lurah, saya pun harus kembali ke ruangan tempat anak muda tadi. Untuk urusan sepele, minta agar surat-surat itu dicap.  Setelah semua itu dijalankan , saya pun menanyakan berapa biaya yang diperlukan untuk semua itu. Dengan wajah yang agak malu-malu, dia memberitahukan jumlah yang harus saya bayar. Saya pun harus mengeluarkan uang Rp 35.000.
     Dari kantor lurah, saya pun menuju ke kantor camat. Ada yang menarik di sana, pada kotak-kotak pelayanan, mirip bank, sudah ditempelkan biaya yang harus saya keluarkan. Dana yang harus saya keluarkan memang sesuai dengan angka yang tertulis di kaca-kaca yang memisahkan ruangan tunggu dengan ruang para petugas. Pelayanan di sana harus saya akui cepat. Karena sepi, saya pun tidak perlu lama menunggu. Tidak kurang dari 30 menit semua urusan saya di kantor tersebut selesai. Dengan tergesa-gesa saya keluar dari kantor.
     Yang menarik bahwa pelayanan di kantor camat dapat diselesaikan dengan cepat. Seorang rekan ngobrol mengatakan bahwa itu terjadi karena pegawai camat di sana memang semuanya pegawai negeri. Sedangkan anak muda di kantor lurah adalah honorer. Gajinya dibayar dari pungutan dari wilayah Rukun Tetangga /Rukun Warga yang dilayaninya. Karena itu di kantor kelurahan itu memang ada sejumlah anak muda yang melayani. Ketika harus berurusan dengan kantor kelurahan bebrapa waktu kemudian, saya pun menyempatkan diri mengobrol dengan anak muda kelurahan itu. Informasi rekan ngobrol saya benar.  Sang pemuda staf kelurahan itu memang harus dibayar oleh pihak RT dan RW yang dilayaninya.
     Ketika pergi ke Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, saya memang menemukan suatu pelayanan yang sangat menyenangkan. Waktu menunggu memang saya perlukan karena para pengawai itu memang harus istrihat. Saya memang tiba di sana jam 12.00. Jam satu tepat saya pun bertemu dengan petugas. Ia menyambut saya dengan ramah. Janjinya untuk membantu saya memang terbukti. Tetapi dia menegaskan bahwa data harus lengkap. “Semua sudah lengkap, Pak,” urai saya. “Termasuk data pekerjaan dan kepemilikan rumah, Pak. Karena kalau mau masuk Surabaya orang harus punya pekerjaan tetap dan rumah.”
     Saya terperangah. Sebegitu jauh birokrasi mengatur masyarakatnya. Bukan saja membatasi seseorang memasuki sebuah kota, tetapi juga mobilitas sosial. Kebijakan ini menggelikan ketika kita tahu bahwa globalisasi melahirkan manusia yang sudah bergerak melewati batas-batas wilayah dan negara. Menghadapi penjelasan semacam itu, sembari menekan perasaan kecewa, saya katakan bahwa saya kini sedang berusaha membeli rumah kedua saya di Surabaya, meskipun saya tidak bekerja di perusahaan tertentu.
     Kita tahu, banyak masyarakat professional Indonesia kini bisa terbang ke mana saja di dunia. Sarapan pagi di Jakarta tetapi makan siang di Manila atau Singapura atau sebaliknya merupakan aktivitas yang umum ditemui. Tetapi untuk berdiam di suatu kota di Indonesia masyarakat dipersyaratkan dengan berbagai tuntutan yang sangat tidak berdasar dari perspektif apapun sehingga mencederai hak-hak asasi manusia. Tetapi saya bersyukur, urusan KTP saya selesai, meski saya harus menunggu semuanya hamper dua bulan. Tetapi janjinya?
    Yang menarik, biaya yang saya keluarkan tanpa penjelasan yang resmi hanya pada tingkat kelurahan. Tetapi kini saya pahami mengapa anak muda yang mengurus sejumlah dokumen saya di kelurahan tidak memberikan kwitansi yang saya butuh. Persoalan ketiadaan kwitansi itu membuktikan bahwa korupsi tetap ada dalam birokrasi kita. Pada tingkat kelurahan sekalipun. Bagaimana pengalaman dan pendapat anda?
(Dituliskan kembali oleh Jacobus E. Lato dari Berita Tipikor seperti dikisahkan Ibu G. di Surabaya).
Share this article :

Posting Komentar

Iklan Berita Tipikor